Sasha Notes

Pengalaman Umroh Mandiri Penuh Tantangan dan Keajaiban

masjidil_haram2.jpg

Angin malam di Jeddah menyapa pelan ketika aku dan istriku keluar dari bandara. Tidak ada panitia travel yang menjemput, tidak ada pemandu membawa papan nama, hanya kami berdua menggenggam koper, paspor, dan segunung harapan. Saat itu aku baru merasakan arti kata mandiri yang sesungguhnya. Kami memilih berhaji kecil tanpa biro, hanya mengandalkan pengalaman orang-orang yang bercerita di internet, nasihat saudara, dan tentu saja keyakinan bahwa Allah selalu menuntun siapa pun yang datang sebagai tamu-Nya.

Perjalanan menuju Makkah bukan perkara mudah. Sopir taksi yang kami sewa tidak bisa berbahasa Inggris, sementara aku hanya menghafal beberapa kalimat Arab sederhana. Di tengah keterbatasan bahasa itu, aku hanya bisa menunjukkan tulisan hotel di layar ponsel. Sepanjang perjalanan, aku mencemaskan banyak hal: apakah hotelnya benar, apakah sesuai dengan booking, apakah masih jauh. Namun kecemasan itu perlahan berubah menjadi rasa haru ketika dari kejauhan, menembus jendela mobil, terpancar cahaya Masjidil Haram. Saat itu, dunia seperti terdiam, dan air mata jatuh begitu saja.

Namun romantisme itu seketika diuji. Sesampainya di hotel, booking kami belum terbaca di sistem. Aku mencoba tenang, meski napas mulai terasa pendek. Resepsionis meminta kami menunggu sambil ia menghubungi pihak agen pemesanan. Lima menit terasa lima jam. Aku menatap istriku yang hanya menatapku penuh keyakinan, seolah berkata: kita pasti bisa melewati ini. Ketika akhirnya pihak hotel menemukan reservasi kami, rasanya seperti beban berat terangkat dari dada. Malam pertama di Makkah terasa seperti hadiah setelah perjalanan penuh ketidakpastian.

Keesokan harinya, kami menunaikan umroh pertama. Tidak ada rombongan yang memandu, tidak ada pembimbing yang menjelaskan langkah demi langkah. Kami hanya mengandalkan catatan kecil di ponsel berisi urutan ibadah, niat, dan doa. Meski begitu, setiap langkah terasa lebih mendalam. Kami benar-benar memaknai setiap ritual, karena tidak ada pilihan selain memahami dan menghayatinya sendiri. Pada saat tawaf, arus manusia berputar begitu cepat, dan aku sempat kehilangan genggaman tangan istriku. Panik itu nyata. Tapi akhirnya kami bertemu kembali setelah mencari di dekat Maqam Ibrahim. Peristiwa kecil itu membuat kami belajar bahwa ibadah ini bukan sekadar fisik, tetapi juga kesabaran, komunikasi, dan kepercayaan.

Hari-hari berikutnya dipenuhi pasang surut. Ada momen ketika kami hampir tersesat pulang ke hotel karena lorong-lorong kota Makkah yang mirip satu sama lain. Ada saat ketika kami kelelahan dan butuh air Zamzam untuk sekadar memulihkan tenaga. Ada malam ketika aku memandangi Ka'bah dalam diam, merasa kecil sekali dibanding luasnya rencana Allah dalam hidup ini. Namun justru melalui pengalaman yang penuh tantangan dan kerentanan itu, aku merasakan perjalanan rohani yang tidak pernah kurasakan dalam ibadah sebelumnya.

Beberapa hari kemudian kami menuju Madinah. Perjalanan darat memakan waktu lama dan aku tidak mau bersandar pada rasa takut. Aku ingin benar-benar percaya bahwa Allah menjaga perjalanan ini. Di Madinah, suasana lebih tenang, lebih syahdu. Berziarah ke makam Rasulullah ﷺ menjadi puncak rasa haru yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bahkan tanpa pembimbing atau rombongan, entah bagaimana kaki ini tahu kemana harus melangkah, seolah ada energi yang mengarahkan kami untuk datang dengan penuh hormat dan cinta.

Jika ada satu kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan perjalanan ini, maka itu adalah: umroh mandiri bukan untuk mereka yang hanya mencari perjalanan mudah, melainkan untuk mereka yang ingin merasakan perjalanan batin yang lebih dalam, penuh ujian, pengorbanan, sekaligus kedekatan spiritual yang tak tergambarkan. Banyak orang bertanya setelah kami pulang, kenapa tidak ikut rombongan saja agar lebih simpel. Aku hanya tersenyum. Tidak ada yang salah dengan ikut rombongan, tetapi perjalanan umroh mandiri memberi kami kesempatan untuk benar-benar belajar berserah dan mengandalkan Allah sepenuhnya, dan perjalanan seperti itu tidak ternilai harganya.

Di hari terakhir di Madinah, tepat setelah shalat Subuh, aku duduk memandangi langit yang berwarna lembut. Aku menyadari bahwa selama ini aku selalu ingin mengendalikan segala hal, memastikan semua rencana berjalan sempurna. Namun perjalanan ini mengajarkan hal sebaliknya: justru ketika semua tidak pasti, kita belajar yakin sepenuhnya kepada Allah. Ketika kita tidak tahu apa-apa, kita berusaha belajar. Ketika tidak ada yang memandu, kita berusaha mencari jalan. Ketika takut, kita berdoa. Dan itulah inti dari ibadah ini.

Pulang ke tanah air, aku membawa lebih dari sekadar foto dan barang belanjaan. Aku membawa hati baru. Rasa syukur baru. Cara pandang baru tentang hidup dan ibadah. Pengalaman penuh drama perjalanan ini mengubahku, baik sebagai seorang suami, seorang kepala keluarga, maupun seorang hamba Allah yang penuh kekurangan.

Jika suatu saat aku kembali ke Tanah Suci, aku tidak tahu apakah akan memilih metode yang sama atau bergabung dengan rombongan. Yang jelas, perjalanan ini adalah bab penting dalam hidupku. Sebuah perjalanan yang penuh tantangan tetapi juga penuh jawaban atas doa-doa yang selama ini terpendam.