Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata ketika kaki pertama kali menjejak di tanah haramain. Udara terasa berbeda. Sejuk, lembut, tapi menembus hati. Rasanya seperti disambut oleh jutaan doa yang pernah terucap dari bibir manusia sepanjang sejarah. Seolah bumi Makkah dan Madinah menyimpan setiap harapan dan air mata umat Islam dari seluruh penjuru dunia.
Aku datang bukan karena mampu, tapi karena dipanggil. Setiap langkah menuju Masjidil Haram membuat dada sesak oleh haru. Dari kejauhan, kubisa melihat kemegahan Ka'bah berdiri di tengah lautan manusia. Hitamnya kain kiswah berkilau di bawah sinar lampu, seolah memanggil setiap hati untuk mendekat. Saat pertama kali melihatnya langsung, aku tak bisa menahan air mata. Semua beban hidup seperti hilang begitu saja.
Aku menunduk dan berbisik, “Ya Allah, akhirnya Engkau izinkan aku menjadi tamu-Mu.” Setiap detik di depan Ka'bah adalah pengalaman yang tak akan pernah kulupakan. Aku bertawaf sambil menangis, setiap putaran terasa seperti membuka lembaran dosa dan menggantinya dengan ampunan. Aku sadar, tak ada tempat di dunia ini yang bisa membuat seseorang merasa sebersih itu kecuali Makkah al-Mukarramah.
Salat di Masjidil Haram menghadirkan getaran yang tak biasa. Bayangkan, satu salat di sana nilainya seratus ribu kali lipat dibanding salat di tempat lain. Tapi di luar angka itu, ada ketenangan yang luar biasa. Saat imam membaca ayat-ayat Al-Qur’an, gema suaranya menembus dinding hati. Setiap kata terasa hidup, menyapa, dan mengajakku kembali kepada Allah سبحانه وتعالى.
Setelah beberapa hari di Makkah, perjalanan berlanjut menuju Madinah. Jika Makkah penuh energi spiritual yang membakar semangat, Madinah menyambutku dengan kelembutan yang menenangkan. Udara di sana berbeda—hangat tapi menyejukkan jiwa. Begitu tiba di Masjid Nabawi, aku langsung meneteskan air mata lagi. Rasanya seperti pulang ke rumah setelah lama tersesat.
Masjid Nabawi berdiri megah, tapi yang paling membuatku terdiam adalah Raudhah. Tempat kecil di antara mimbar dan makam Rasulullah ﷺ yang disebut sebagai taman surga. Ketika akhirnya aku diberi kesempatan masuk, tubuh ini gemetar. Orang-orang berdesakan dengan sabar, tak ada suara keras, hanya bisikan doa. Aku pun menangis tersedu, memohon agar kelak di akhirat bisa bertemu Rasulullah ﷺ dan mendapatkan syafaatnya.
Di Madinah, aku merasakan cinta yang luar biasa. Setiap sudut kota seakan membawa kenangan perjuangan Rasulullah ﷺ. Dari masjid Quba hingga Jabal Uhud, semuanya bercerita tentang kesabaran, pengorbanan, dan kasih sayang. Tidak heran, banyak jamaah yang bilang: Makkah membuat kita menangis karena dosa, tapi Madinah membuat kita menangis karena cinta. Dan aku mengerti sekarang mengapa mereka berkata begitu.
Yang membuatku semakin kagum adalah bagaimana pemerintah Kerajaan Arab Saudi menjaga dua kota suci ini. Mereka benar-benar menjadikannya sebagai tempat ibadah paling bersih dan nyaman di dunia. Di Masjidil Haram, petugas kebersihan selalu siap bahkan di tengah malam. Di Madinah, senyum ramah petugas menyapa setiap jamaah. Dan semua fasilitasnya luar biasa — mulai dari pendingin raksasa, layanan kesehatan gratis, hingga kereta cepat Haramain yang membuat perjalanan antar kota jadi begitu mudah.
Aku sempat menaiki Kereta Cepat Haramain, dan jujur, itu pengalaman menakjubkan. Dari Makkah ke Madinah hanya butuh waktu sekitar 1 jam 30 menit. Jalannya mulus, interiornya nyaman, dan petugasnya sangat membantu. Dari jendela, aku melihat padang pasir terbentang luas, dan di hati hanya ada rasa syukur karena bisa menyaksikan keagungan ciptaan Allah سبحانه وتعالى dengan mata kepala sendiri.
Selama berada di tanah suci, aku juga kagum dengan sistem digitalisasi yang diterapkan pemerintah Saudi. Melalui aplikasi Nusuk, aku bisa dengan mudah mengatur jadwal ibadah, ziarah, dan bahkan masuk ke Raudhah tanpa perlu antre panjang. Semuanya tertata rapi dan profesional, membuktikan bahwa modernisasi bisa berjalan beriringan dengan spiritualitas.
Setiap detik di Haramain membuatku semakin sadar betapa besar nikmat menjadi tamu Allah سبحانه وتعالى. Tidak semua orang mendapat kesempatan ini. Banyak yang sudah berniat bertahun-tahun tapi belum juga berangkat. Karena itu, aku selalu berkata pada siapa pun yang mendengarkan ceritaku: Kalau hatimu sudah rindu, jangan tunda lagi. Jawablah panggilan-Nya selagi mampu.
Sekarang, setiap kali aku mendengar lantunan talbiyah di televisi atau media sosial, air mataku otomatis mengalir. Aku rindu suara azan di Masjidil Haram, rindu duduk di Raudhah, rindu berjalan di bawah cahaya lembut Madinah. Rindu yang tidak pernah bisa sembuh, kecuali dengan kembali ke sana.
Dan kalau kamu membaca ini dengan hati yang bergetar, mungkin itu tanda bahwa Allah سبحانه وتعالى juga sedang memanggilmu. Jangan takut memulai. Melalui Pusat Umroh, ada banyak program perjalanan ibadah yang bisa membantumu mewujudkan impian ke tanah suci — dari paket Umroh Reguler, Umroh Plus, hingga Umroh Ramadhan. Semua dirancang agar jamaah bisa fokus beribadah dengan tenang dan nyaman.
Percayalah, begitu kamu tiba di sana, semua rasa lelah dan biaya yang dikeluarkan akan terasa kecil dibanding kebahagiaan yang kamu rasakan. Karena ketika kamu berdiri di depan Ka'bah dan berbisik, “Labbayk Allahumma Labbayk”, saat itulah seluruh isi dunia seakan berhenti, dan hanya ada kamu, Allah, dan cinta yang tak berujung.
Dan di sanalah aku menyadari, inilah makna sejati dari perjalanan ke haramain bukan sekadar perjalanan jasmani, tapi perjalanan hati menuju cahaya yang tidak pernah padam.